Gadis Melayu Panas - Pembaca yang budiman, seri yang saya tulis berikut ini adalah
benar-benar kejadian yang pernah saya alami sendiri ditambah dengan
sedikit bumbu penyedap. Beberapa wanita yang pernah berhubungan dengan
saya kebetulan berasal dari suku dan etnis yang berbeda. Umumnya usianya
lebih tua dari saya, namun beberapa ada yang seumur bahkan lebih muda
dari saya. Saya tidak bermaksud untuk melecehkan atau menghina siapapun.
Pengalaman ini saya sampaikan semata-mata hanya untuk berbagi
pengalaman saja, tanpa ada maksud lainnya.
Kali ini saya akan bercerita tentang Ina, seorang wanita berdarah campuran Aceh-Melayu.
*****
Entah
bagaimana awalnya sepulang dari kantor aku tahu-tahu sudah berada di
Stasiun Tanah Abang. Padahal rumahku di kawasan Jakarta Timur. Waktu
itu, 1994, Stasiun Tanah Abang lagi direnovasi. Kulihat seorang wanita
sedang asyik menelepon dari telepon umum koin di dalam stasiun. Aku
mendekat dengan tidak menyolok, seolah-olah aku antri mau menelpon.
Kuamat-amati dari dekat wanita tadi. Wajahnya bulat, rambut ikal sebahu,
kulit agak gelap tapi bersih, tidak terlalu cantik alias STD, badannya
montok, kurasa sedikit overweight namun badannya kelihatan kencang,
tinggi sekitar 163 cm, dada 34 B.
Satu koin telah habis dan dia
memasukkan koin berikutnya. Ternyata sampai koin kedua habis dia masih
belum selesai berbicara. Dia menatapku dan memberi isyarat apakah aku
punya koin dan dia boleh minta koinku. Kuulurkan dua koin kembalian naik
mikrolet tadi. Dia mengangguk dan dengan gerakan bibir dia katakan
terima kasih. Belum habis satu koin dariku tadi dia sudah menutup
pembicaraannya. Dikembalikannya satu koin kepadaku, tapi kutolak dengan
isyarat tangan.
"Terima kasih koinnya" dia membuka percakapan, "Silakan kalau mau telpon" lanjutnya.
"Tadinya
sih memang mau telpon, tapi tiba-tiba aku ingat kalau orang yang kutuju
lagi keluar kota" jawabku cari alasan. Aku memang tidak ada niat
telepon, hanya karena kulihat dia dari jauh agak OK makanya kudekati.
"Kelihatannya penting amat telponnya tadi, tapi sorry bukan aku mau tahu urusan orang" kataku.
"Iya, telpon ke adikku. Besok ada acara keluarga, rame-rame sebulan sekali" jawabnya ramah.
"Ohh iya, aku Anto" kuulurkan tanganku.
"Ina" sahutnya pendek menyambut tanganku. Busyet, keras amat jabatan tangannya. Jangan-jangan kuli angkat stasiun pikirku.
Kami
keluar dari ruangan stasiun dan berdiri di teras. Kembali basa-basi
standar orang timur terjadi. Pertanyaan-pertanyaan baku seperti dari
mana? Mau ke mana? Dengan siapa? Meluncur begitu saja. Kuamati sekali
lagi dari atas ke bawah dengan cermat. Meskipun tidak terlalu cantik,
kelihatannya OK juga kalau diajak bergumul di atas ranjang.
Kuberanikan
diriku untuk mengajaknya ke wisma kecil di depan stasiun. Kupikir
untung-untungan aja. Kalau dia marah, ya tinggal aja. Kalau mau, itu dia
yang diharapkan.
"Ina mau ikut saya" tanyaku memancing.
"Ke mana?"
"Itu tuh ke depan situ " sambil tanganku menunjuk ke arah wisma.
Wisma
tersebut memang kelihatan bukan seperti tempat penginapan tapi lebih
mirip kafe dengan belahan bambu yang disusun sebagai dinding depan.
Kelihatannya cukup bersih bagi sebuah hotel melati. Dan aku sangat yakin
bahwa wisma tersebut dipakai untuk lembur "short time" bagi pasangan
selingkuh ataupun pasangan cinta kilat yang ada di sekitarnya.
"Boleh aja" akhirnya dia menjawab setelah sekilas melihat ke arah wisma.
Kami
masuk ke wisma dan membayar di kasir. Ternyata betul dugaanku, kamar
wisma ini disewakan per jam. Kami masuk ke dalam kamar. Ina terlihat
agak kaget ketika melihat isi kamar, sebuah ranjang single bed dan
sebuah almari pakaian.
"Lho, kita mau ngapain di sini? Jangan macam-macam padaku" tanyanya menatapku.
"Lah, tadi katanya mau diajak ke sini, sekarang kok tanya lagi" sahutku tenang.
"Kukira tadi ini kafe, kamu mau ngajak makan atau minum di sini. Ternyata.. " Ina kelihatannya mau protes.
"OK, aku nggak biasa maksa wanita. To the point saja, kita mau making love di sini, kalau keberatan ya kita cabut aja," kataku.
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengatupkan bibirnya.
"Baiklah kalau begitu, saya juga tidak keberatan kalau kamu ngajak ML sekarang. Jadi apa sekarang?"
Ina merebahkan tubuhnya ke ranjang. Aku mengikuti menjatuhkan tubuhku di sampingnya.
"Tadinya kalau kamu mau macem-macem kuhajar kamu. Aku atlet Tae Kwon Do dan pernah ikut seleksi daerah" katanya datar.
Situasi sudah aman terkendali. Kulihat dari nada bicaranya dia udah jinak.
"Gak lah, kan tadi sudah kubilang aku nggak suka maksa orang".
Tanganku
mulai bergerilya. Pertama-tama kuselusupkan tanganku kiriku dari bawah
badannya dan memeluk bahu kirinya. Kuremas lembut dan kuelus-elus. Ina
kelihatan makin santai dan mulai menikmati. "Yess.. " sorakku dalam
hati. Kami diam beberapa saat.
"Berapa umurmu?" tanyaku memecah kesunyian.
"Kenapa emangnya?"
"Nggak pa-pa, kalau nggak mau kasih tau".
"Tiga puluh, kamu berapa? Dua delapan?" tanyanya agak ragu.
"Belum, baru dua lima kok".
"Wajahmu kelihatan lebih dewasa dibanding umurmu, tadinya kusangka malahan seumurku".
"Kamu punya suami In?" tanyaku.
"Aku
punya, tapi bukan suami resmi. Kami hidup bersama tanpa nikah. Dia
kerja sebagai DJ di Mabes, aku waitress di tempat yang sama. Sekarang
aku lagi ada masalah sama dia. Aku mau cari kontrakan sendiri ".
Kueratkan
pelukanku seolah-olah ikut menanggung bebannya dan memberikan
simpatiku. Ia melepaskan diri dari pelukanku dan bangkit berdiri.
"Sebentar To, aku ke kamar mandi dulu".
Beberapa
saat kemudian terdengar suara siraman air. Ina keluar dari kamar mandi
dan duduk di tepi ranjang. Kupeluk dia dari belakang, tanganku
kulingkarkan di pinggangnya. Kusibakkan rambutnya, kucium dan kugigit
tengkuknya dengan gigitan kecil. Berdasarkan pengalamanku dengan gigitan
kecil di tengkuk, aku akan dapat menguasainya tanpa dia merasa
tertekan.
"Sebentar, aku buka dulu bajuku ya," Katanya sambil berdiri dan membuka kancing bajunya satu persatu.
Ia
membuka baju dan kemudian celana panjangnya. Kini ia tinggal mengenalan
pakaian dalam saja, semuanya berwarna hitam. Bra dan celana dalamnya
dari bahan transparan sehingga dapat kulihat puting dan padang rumput di
bawah perutnya. Ada sedikit gumpalan lemak di perut dan pahanya.
"Ayo To, atau kamu cuma mau lihatin aku terus" tangannya menarik tanganku.
Aku
berdiri dan kuangkat kedua tanganku ke atas. Ia mengumam " Dasar
manja". Tangannya kemudian membuka kancing bajuku dan menariknya hingga
terlepas, lalu kemudian membuka ikat pinggangku dan akhirnya menarik
ritsluiting dan dengan perlahan ia menarik celanaku ke bawah. Kini kami
sama-sama hanya mengenakan pakaian dalam saja.
"Kamu sering ke
sini ya?" tanyanya. Sebuah pertanyaan standar lagi, dan rasanya dia dan
juga wanita lainnya pasti tahu jawabannya.
"Ah nggak" kataku.
"Nggak percaya, kok tahu ini sebuah wisma, padahal kelihatannya dari luar seperti kafe".
"Kamu nggak perhatikan sih. Ada kok papan namanya kecil di atas pintu masuk"
"Kamu masih perjaka?" ia bertanya lagi.
"Emangnya kenapa. Jujur saja aku nggak perjaka lagi?"
"Eehhngng, .. " Ia mendesah ketika lehernya kujilati dalam posisi berdiri.
Ina
mendorongku ke ranjang dan menindihku. Tanganku bergerak kebelakang
punggungnya membuka pengait bra-nya. Kini terbukalah dadanya di
hadapanku. Buah dadanya besar dan kencang. Putingnya berwarna coklat dan
keras.
Ina memainkan lidahnya jauh ke dalam rongga mulutku.
Bibirnya agak tebal dan kaku. Ina kurang mahir dalam berciuman bibir.
Lidahnya memainkan lidahku. Aku tidak mau aktif, paling sesekali gantian
mendorong lidahnya. Tangan kananku memilin puting serta meremas
payudaranya.
Ina menggerakkan tubuhnya agak ke atas. Payudaranya
pas sekali di depan mulutku. Segera kuterkam payudaranya dengan mulutku.
Putingnya kuisap pelan dan kugigit kecil.
"Aaacchh, Ayo Anto.. Teruskan Anto.. Teruskan". Ia mengerang..
Kemaluanku
mengeras. Ina menekankan selangkangannya pada selangkanganku.
Kemaluanku agak sakit jika dia terlalu keras menekanku. Puting dan
payudaranya semakin keras. Kusedot payudaranya sehingga semuanya masuk
ke dalam mulutku, putingnya kumainkan dengan lidahku. Dadanya mulai naik
turun dengan cepat pertanda nafsunya mulai naik. Napasnya
terputus-putus.
Tangan Ina menyusup di balik celana dalamku,
kemudian mengelus, meremas, mengocok dan menggoyang-goyangkan meriamku.
Ditariknya celana dalamku dan dilepaskannya ke bawah. Kini aku dalam
keadaan bugil.
Ina menggerakkan bibirnya ke arah leherku,
mengecup, menjilati leherku dan menggigit kecil daun telingaku. Hembusan
napasnya terasa kuat. Dia mulai menjilati putingku dan tangannya
bermain-main dengan bulu dadaku. Aku terangsang hebat sekali.
Kugelengkan kepalaku untuk menahan rangsangan ini. Kupeluk pinggangnya
kuat-kuat.
Tangannya lalu membuka celana dalamnya sendiri dan
melemparkannya ke dekat kaki. Tangan kiriku bermain di antara
selangkangannya. Rambut kemaluannya tidak lebat dan tidak panjang.
Kubuka bibir luar dan bibir dalam vaginanya. Jari tengahku masuk sekitar
2 cm dan menekan bagian atas organ kewanitaannya menonjol seperti
kacang. Setiap aku mengusapnya Ina mengerang tertahan. Aku tidak mau
jariku terlalu masuk ke dalam, cukup hanya masuk satu ruas dan mengusap
serta menekan dinding atas vaginanya. Aku pernah baca tentang G-Spot,
tapi aku juga tidak terlalu berharap untuk menemukannya pada wanita yang
kukencani. Aku percaya bahwa setiap wanita punya titik rangsangan yang
unik.
"Oouuhh.. Aaauhh.. Ngngnggnghhk"
Kulepaskan tanganku
dari selangkangannya. Mulutnya semakin ke bawah, menjilati bulu dada
dan perutku. Tangannya masih bermain-main di kejantananku. Dengan bahasa
tubuh kuisyaratkan agar dia mau menghisap meriamku. Entah kenapa kali
ini dengan Ina aku ingin sekali melakukan oral sex. Biasanya aku
menyerahkan pada inisiatif lawan mainku. Dia hanya menggeleng dan
bibirnya terus menyusuri perut dan pinggangku.
Ina kembali
bergerak ke atas, tangan kirinya memegang dan mengusap kejantananku yang
telah berdiri mengeras. Badannya kurasakan memang kencang dan keras,
maklum atlet. Kugulingkan badannya sehingga aku berada di atas. Kembali
kami berciuman. Tapi memang Ina kurang bisa bermain dengan bibirnya
sehingga ciuman kami juga tidak terlalu nikmat. Kuisap-isap puting
susunya sehingga dia mendesis dan memekik perlahan dengan suara sengau.
"SShh.. Ssshh .. Ngghh..
Perlahan
lahan kuturunkan pantatku sambil memutar-mutarkannya. Penisku bagian
ujung lebih besar daripada pangkalnya. Kepala penisku digenggam dengan
telapak tangannya, dan digesek-gesekkan di mulut vaginanya. Terasa
hangat dan mulai berair. Dia mengarahkan kejantananku untuk masuk ke
dalam vaginanya. Kuminta dia untuk melepaskan tangannya dari penisku.
Aku ingin memasukkan tanpa bantuan tangan, hanya dengan daya ketegangan
dan kekerasan penis. Ina merenggangkan kedua pahanya dan sedikit
mengangkat pantatnya. Kepala penisku sudah mulai menyusup di bibir
vaginanya. Kugesek-gesekkan di bibir luarnya sampai terasa keras sekali.
Ina hanya merintih dan memohon padaku untuk segera memasukkannya semua.
"Ayolah Anto, please.. Pleasse.. "
Aku
mencoba untuk menusuk lebih dalam, tetapi ternyata masih agak sulit.
Akhirnya kukencangkan otot Kundaliniku dan kali ini.. Blleessh. Usahaku
berhasil.
"Ouhh.. Ina ouhh," kini aku yang setengah berteriak.
Aku
bergerak naik turun. Perlahan-lahan saja kugerakkan, sambil mencari
posisi dan saat yang tepat. Ina mengimbangi dengan memutar pinggulnya.
Kepalanya mendongak ke atas dan bergerak ke kanan kiri. Kedua tanganku
bertumpu menahan berat badanku. Ketika lendirnya sudah membasahi
vaginanya kupercepat gerakanku. Kadang-kadang kubuat tinggal kepala
penisku saja yang menyentuh mulut vaginanya.
Kuhentikan
gerakanku, kurebahkan tubuhku di atasnya. Kini penisku kukeraskan dengan
cara seolah-olah menahan kencing hingga terasa mendesak dinding
vaginanya. Kutunggu reaksinya. Aku mengharap agar ia juga melakukan
kontraksi dinding vaginanya. Ia hanya terpejam dan bola matanya memutih
setiap penisku berkontraksi. Ternyata ia tidak terlatih untuk melakukan
kontraksi otot kemaluannya. Beberapa saat kami dalam posisi itu tanpa
menggerakkan tubuh, hanya otot kemaluanku saja yang bekerja sambil
saling berciuman dan memagut bagian tubuh lawan main kami.
"Anto, .. Sedap.. Nikmat sekali.. Ooouuhh" desisnya sambil menciumi leherku.
Kuputar
kaki kanannya melewati kepalaku sehingga aku berada di belakangnya.
Kuputar tubuhnya lagi sampai aku menindihnya dalam posisi kami berdua
tengkurap di ranjang. Dalam posisi ini gerakanku naik turunku menjadi
bebas. Tangannya meremas-remas tepi ranjang. Kuciumi tengkuk dan
lehernya. Ketika kucium lehernya di bagian samping, kepalanya terangkat
dan mulutnya mencari-cari bibirku. Kusambut mulutnya sebentar. Kuatur
gerakanku dengan ritme pelan namun kutusukkan dengan dalam sampai
kurasakan kepala penisku menyentuh mulut rahimnya. Ketika penisku
menyentuh rahimnya Ina mengangkat pantatnya sehingga tubuh kami merapat.
Kupegang
pinggulnya dan kutarik sehingga pantatnya terangkat ke belakang. Ina
tahu keinginanku. Kepalanya ditaruh miring di atas bantal dan pantatnya
menggantung dalam posisi nungging. Doggie Style!! Kupegang pinggulnya
dengan kuat. Pantatku kugerakkan maju mundur dan terkadang memutar. Ina
juga mengimbanginya dengan menggerakkan pantatnya maju mundur. Bunyi
paha beradu memenuhi seluruh ruangan kamar. Kadang kujulurkan tanganku
ke depan untuk memainkan payudaranya.
"Plok.. Plok plok plok.. "
"Anto.. Ayo lebih cepat lagi.. Ayoo"
Kupercepat
gerakanku dan Ina juga mengimbanginya. Kulirik jam dinding. Sudah
setengah jam lebih kami bertempur. Kupikir sebentar lagi akan
kutuntaskan permainan ini.
"Lebih cepat lagi, oohh.. Aku mau keluar aacchhkk.. "
Akupun
merasa ada yang mau terlepas dari laras meriamku. Aku selalu mau
mencapai puncak dalam posisi konvensional. Kucabut meriamku dan
kugulingkan lagi tubuhnya kembali dalam posisi konvensional. Tidak
mungkin dalam posisi doggie style kembali ke konvensional tanpa mencabut
penis. Kumasukkan kembali penisku dengan perlahan dan dengan ketegangan
yang penuh. Ina memelukku erat. Kakinya membelit pahaku, matanya
terpejam, kepalanya terangkat.
Kuubah gerakanku, kugerakkan
dengan pelan dan ujung penisku saja yang masuk beberapa kali. Dan
kemudian kutusukkan sekali dengan cepat sampai seluruh batang terbenam.
Matanya semakin sayu dan gerakannya semakin ganas. Aku menghentikan
gerakanku dengan tiba-tiba. Payudaranya sebelah kuremas dan sebelah lagi
kuhisap kuat-kuat. Tubuh Ida bergetar "Ayo jangan berhenti, teruskan..
Teruskan lagi " pintanya.
Aku merasa wanita ini hampir mencapai
puncak. Kugerakkan lagi pantatku dengan gerakan yang cepat dan dalam.
Bunyi seperti kaki yang berjalan di tanah becek makin keras bercampur
dengan bunyi desah napas yang memburu
"Crrok crok crok.. ".
"Ayolah Anto, aku mau kelluu.. ".
Gerakan pantatku semakin cepat dan akhirnya
"Sekarang.. Sayang.. Sekarang..!!"
Tubuhnya
menegang, dinding vaginanya berdenyut kuat, napasnya tersengal dan
tangannya memukuli punggungku. Kukencangkan otot perut dan kutahan,
terasa seperti ada aliran yang mau keluar. Aku berhenti sejenak dalam
posisi kepala penis saja yang masuk vaginanya, kemudian kuhunjamkan
cepat dan dalam.
Crot Crott.. Crott, beberapa kali spermaku kutembakkan. Kami saling berteriak tertahan untuk menyalurkan rasa kepuasan.
"Yess.. Achh.. Auuhhkk".
Pantatnya
naik menyambut hunjamanku dan tubuhnya gemetar, pelukan dan jepitan
kakinya semakin erat sampai aku merasa sesak, denyutan di dalam
vaginanya terasa kuat sekali meremas kejantananku. Beberapa saat kami
berdiam untuk memulihkan tenaga. Kucabut meriamku dan kami membersihkan
diri.
"Kamu OK In, hanya satu kekuranganmu. Kurang romantis dan kurang lihai bermain bibir" kataku memuji sekaligus mengkritik.
"Yach, memang itulah kemampuanku" jawabnya.
"Di
dalam arena pertandingan mungkin aku babak belur kena tendanganmu, tapi
di atas ranjang jangan coba-coba, kamu tahu sendiri hasilnya kan?
Makanya jangan macam-macam denganku " kataku bercanda.
Kami
keluar dari hotel dan pulang bersama-sama karena kebetulan rumah kami
searah. Setelah itu kami masih sering bikin janji untuk berkencan.
Pernah sekali kukerjain dia di kamar kontrakannya di lantai II,
sementara yang punya rumah tinggal di lantai I. Lucunya ketika masih
dalam keadaan bugil dan berhimpitan dia dipanggil karena ada telepon
buatnya. Kubilang terima dulu telponnya deh, tapi dia bilang biar saja,
lagi tanggung katanya. Sampai akhirnya waktu kami berpisaHPun dia masih
belum mahir untuk melakukan french kiss. Erangannya ketika kami bercinta
selalu membuat adrenalinku berpacu. Satu hal keistimewaannya adalah
kenikmatan yang luar biasa ketika doggie style.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar